Tiga Presiden Kecil

This is our first attempt at a translation, and despite our best efforts there may still be some statements or terms that are unclear or confusing.  If you have any questions, clarifications or suggestions, to improve the translation, we are happy to receive them, simply select the ’email’ option at the end of the article.

Foto ini saya ambil sekitar setahun yang lalu, dekat sebuah perkampungan nelayan kecil di kawasan selatan Sumatera.  Pikiran saya terus saja tertarik ke sana.  Ada sesuatu tentangnya yang mengesankan saya, entah kenapa.  Akhirnya terjawab sudah.  Saya sungguh terkesan, karena foto ini menampilkan metafora Indonesia, tempat saya tinggal dan bekerja sekarang.  Di satu sisi, foto ini mempelihatkan Indonesia dengan satu kaki tertanam dalam lumpur tradisi dan bertahan dari perubahan, sementara kaki lainnya tertanam kokoh di atas dasar masa depan yang dinamis dan menggairahkan dalam komunitas global.  Nuansa ironis yang sangat kental tertangkap dalam setiap unsurnya.

Desain pedati ini sungguh kuno, kecuali rodanya yang modern.  Barangkali Julius Caesar dan Brutus juga pernah menaiki kereta seperti ini di masa kecilnya, mengelilingi lahan pertanian mereka kira-kira 2000 tahun yang lampau.  Jika Anda amati jejak-jejak lumpur yang menempel pada kaki-kaki sapi dan roda kereta, jelas pedati itu baru saja melewati lokasi berair cukup dalam dengan dasar lumpur lunak.  Dengan kondisi seperti ini, mungkin masih ada beberapa kendaraan lain pembawa muatan, yang cocok untuk melewati rawa-rawa seperti itu.

Dua bocah lelaki yang menumpang di atasnya tampak menggenggam telepon seluler.  Bocah yang lebih tua, yang sedang mengendalikan pedati, pastilah memiliki ponsel pula.  Kurang dari satu kilometer dari lokasi ini, berdiri tegak sebuah menara telekomunikasi, kokoh di punggung bukit dan siap menebar sinyal 3G ke seluruh desa, kawasan pertanian sekitarnya dan meluas sampai ke lautan untuk dapat diakses oleh para nelayan setempat, pun kapal-kapal layar antar-negara yang melintas.  Ponsel yang mereka genggam mungkin dirakit di Korea atau China dan dibeli melalui jaringan ritel tangan kedua yang berkembang pesat.  Hampir setiap orang di Indonesia mampu membeli ponsel dan kartu sim prabayar yang harganya teramat murah.

Bocah lelaki berbaju merah tampak asyik mengetik.  Barangkali untuk tetap berbagi cerita tentang keseharian dengan teman-temannya di desa.  Hasrat untuk terus berkomunikasi melalui pesan-pesan teks berbiaya super murah, sudah pasti menjadi insentif yang sangat ampuh untuk menarik perhatian kepada sekolah, belajar menulis, membaca dan aritmatika.  Kendati mereka sedang mengerjakan apa yang sudah dilakukan oleh ayah mereka dan bahkan beberapa generasi sebelumnya, dan tetap tinggal di desa, mereka tampak nyaman masuk dalam koneksi dengan dunia digital. Kelak, jika telah beranjak dewasa dan mulai menggunakan ponsel pintar, mereka akan belajar tentang dunia melalui internet, Wikipedia, You Tube, eBay, Google, Facebook dan tentu saja like-nya.  Kemampuan mereka untuk belajar dan mengembangkan keterampilan duniawi akan tak terbatas. Sesuatu yang bukan saja tak dimiliki, bahkan tak terbayangkan oleh ayah dan ibu mereka.

Sapi penarik pedatinya adalah hasil perkawinan silang; induknya kemungkinan besar dibuntingkan melalui inseminasi buatan.  Wajah putih dan bercak-bercak kecoklatan pada tubuhnya menampakkan jejak genetis sapi Simmental Eropa yang memang amat populer di kalangan peternak sapi di Indonesia.  Kaki-kaki sapi jelas terlihat aus.  Pastilah sapi itu sudah sering kali dipakai untuk menarik pedati.  Untuk sapi pekerja seperti ini, kondisi tubuhnya terlihat cukup baik dan itu artinya dia diberi makan dengan baik.  Mungkin sekali, salah satu tugas bagi para bocah lelaki ini sebelum dan sepulang sekolah adalah menambatkan sapinya di luar untuk merumput saat sapi sedang tidak dipakai menarik pedati.  Ayah mereka akan mengendarai sepeda motornya jauh-jauh untuk mencari rumput, dibawa pulang untuk sapi mereka.  Dengan kondisi skor tubuh sekitar 2,5 dari total skor 5 dan beban kerja yang cukup banyak, sapi ini masih bisa bunting sebab sapi lokal memang sangat subur.

Bocah-bocah ini mungkin belum menyadari bahwa sapi ini, suatu hari kelak mungkin akan menjadi peyelamat hidup mereka.  Pemerintah Indonesia belum mampu memberikan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi seluruh 250 juta penduduknya.  Jadi, suatu waktu ketika ada kebutuhan mendesak untuk biaya berobat, sapi ini bisa dijual untuk mendapat uang tunai melalui jaringan jual-beli di desa, yang mampu mendatangkan uang tunai dengan cepat.  Lebih cepat daripada ATM di mana pun.  Sapi ini adalah “sapi perah” yang sesungguhnya, yang juga sesekali akan menghasilkan anak untuk dapat menambah pundi-pundi keluarga.  Anak-anak sapi kelak bisa dijual untuk membiayai salah satu atau lebih dari mereka untuk melanjutkan pendidikan ke universitas, atau untuk membantu membiayai pernikahan mereka nantinya.

Tumbuh dengan gizi yang jauh lebih baik karena keadaan ekonomi yang lebih baik, dan akses yang lebih memadai kepada makanan berkualitas tinggi seperti susu dan daging, menjelaskan mengapa bocah-bocah ini terlihat sangat bugar dan sehat.  Tak diragukan lagi, mereka akan tumbuh lebih tinggi, setidaknya 20 cm lebih tinggi daripada orang tua mereka.

 

Satu-satunya pemandangan yang membuat frustrasi dari foto ini adalah sampah yang berserakan di mana-mana, yang terus-menerus dibuang tanpa pikir panjang di seluruh kawasan.  Surga tropis yang indah ini betul-betul tertutupi oleh segala jenis sampah, khususnya kemasan plastik.  Kepedulian terhadap lingkungan sama sekali belum menjadi bagian dari budaya Indonesia.

Saya pikir, penyebabnya karena mereka memiliki sumber daya yang berlimpah dan budaya memaafkan, sehingga terus memproduksi sampah tanpa menghiraukan penyalahgunaan seperti ini.  Tanah di kawasan ini sangat dalam dan bercampur abu vulkanis, hasil ledakan Krakatau, gunung berapi terkenal, yang hanya berjarak 50 kilometer dari laut.  Rata-rata curah hujan di sini sedikit di atas 2000 mm dan sangat dapat diandalkan.  Berbagai jenis tanaman tumbuh di kawasan ini, termasuk kelapa sawit, kopra, padi, jagung, singkong, kakao, lada, pisang, pepaya dan masih banyak lagi. Semuanya terus menghasilkan, kendati banyak sekali sampah yang berserakan di segala penjuru.

Pakaian yang dikenakan bocah-bocah lelaki itu terlihat layak, mengingat mereka bekerja di tempat yang berlumpur di ladang.  Pakaian mereka hampir pasti dibuat di pabrik tekstil dan pabrik pakaian yang sangat besar di Jawa sana.  Industri dunia yang kompetitif ini menjamin bahwa semua orang Indonesia dan banyak konsumen lainnya di dunia memiliki akses kepada pakaian berkualitas baik dengan harga terjangkau.  Logo pada topi ungu yang melekat di kepala pengemudi pedati menandakan topi itu diperolehnya secara gratis dari promosi  minuman Monster, perusahaan Amerika yang memproduksi dan mendistribusikan minuman berenergi yang sangat populer di seluruh dunia termasuk di wilayah terpencil di Indonesia.

Satu hal dalam foto ini yang tampaknya tidak mewakili Indonesia sejauh yang saya tahu, adalah jalannya.  Badan jalan tampak jelas belum lama dilapisi aspal, yang membuat perjalanan melintasinya menjadi pengalaman yang menyenangkan.  Sayangnya, ini bukan pemandangan yang lazim, sebab infrastruktur jalan merupakan salah satu bidang ekonomi nasional yang paling terbengkalai.  Kondisi jalan yang mengejutkan dan beban lalu lintas yang terus meningkat merupakan ancaman besar bagi pertumbuhan dan kemakmuran masa depan bangsa.

Presiden Indonesia yang baru, Joko Widodo (Jokowi), terlihat seperti anak lelaki muda, terlepas dari usianya yang sudah 53 tahun.  Untuk suatu alasan tertentu, bocah berkaos kuning di atas pedati mengingatkan saya akan Presiden Jokowi.  Saya jadi bertanya-tanya, apakah dulu Jokowi juga mengendari pedati serupa, menempuh jalanan di Surakarta 40 tahun yang lampau, mengantarkan funitur untuk ayahnya.  Saya yakin, bocah-bocah ini tidak peduli tentang politik kepresidenan saat ini.  Namun, Jokowi telah membuktikan bahwa setiap orang di Indonesia boleh bercita-cita untuk menduduki jabatan tertinggi di negeri ini, dan dinilai oleh pemilih semata-mata atas kualitasnya dan bukan karena kekayaan pribadi atau koneksi yang kuat.  Inilah pencapaian fenomenal di negeri ini, di mana korupsi dan nepotisme merasuki segala aspek kehidupan sehari-hari.  Tidak ada satupun yang dapat menghentikan bocah-bocah ini menggapai impian mereka, kecuali bakat dan kemampuan.  Jika mereka cerdas dan tekun, maka hanya langitlah batasnya.  Namun, untuk saat ini, ketiga bocah yang bisa saja menjadi presiden ini, akan mengambil alih muatan mereka dari toko di puncak bukit berikutnya.  Dan mungkin, mereka juga akan membeli es krim, untuk dinikmati dalam perjalanan pulang.

0 Responses

  1. Always good articles Dr Ross. The English version though for me is a little easier to read – my bahasa indo isn’t up to speed. Albeit this may encourage me to learn!

    Patrick

    Sent from my iPhone

    >

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share the Post:

Related Posts