Menciptakan manfaat bersama: Inovasi produsen daging sapi Indonesia

Beberapa bulan lalu, saya mengunjungi Great Giant Livestock (GGL), perusahaan penggemukkan, pembibitan, dan sapi perah, dengan sapi sebanyak 20.000 ekor di perkebunan nanas.  Perusahaan ini memanfaatkan sebagian besar limbah dari proses pabrik yang sekaligus menghasilkan pupuk bernilai tinggi untuk didaur ulang di perkebunannya.  GGL adalah anak perusahaan dari Great Pineapple Company, yang sesuai dengan namanya, adalah lokasi perkebunan tunggal dengan fasilitas pabrik pengolahan nanas terbesar di Indonesia (bahkan dunia).  Dari lahan seluas 32.000 hektar di Sumatera bagian selatan ini, perusahaan tersebut memproses lebih dari 500.000 ton nanas dan mengekspor 11.000 kontainer nanas kaleng ke seluruh dunia setiap tahunnya.

Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia diwajibkan oleh undang-undang untuk mendirikan proyek-proyek Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung Jawab Sosial Perusahaan.  Undang-undang ini dirancang agar memberi manfaat bagi masyarakat lokal.  Saya sudah menyaksikan banyak CSR dan dalam sebagian besar kasus, mereka relatif terbatas pada sekadar pemberian, demi mencentang kotak pemeriksaan auditor. Percaya atau tidak, sebenarnya sangat sulit untuk “memberi” kepada masyarakat tanpa menciptakan ketegangan-ketegangan sosial baru terlepas dari niat terbaik sekalipun.  Saya telah melihat beberapa proyek komunitas yang pada awalnya memiliki niat yang sangat baik dan murah hati, namun berujung suram, sebab tingkat kerumitan relasi dalam struktur sosial desa tradisional sangat mudah menimbulkan konflik dan ketidakpuasan dari beberapa pihak, terlepas dari ketulusan upaya dan sumber daya keuangan yang dikeluarkan demi kesuksesan proyek itu.  Ketika melibatkan hewan hidup, tingkat kesulitan untuk mendesain proyek sosial desa yang berkelanjutan meningkat berpuluh kali lipat.

GGL melakukan pendekatan terhadap tantangan ini dengan perspektif yang berbeda daripada yang dilakukan kebanyakan perusahaan besar.  Mereka memakai konsep yang diberi nama Creating Shared Value (CSV) atau Menciptakan Manfaat Bersama.  Melalui Creating Shared Value, GGL bertujuan untuk membangun peluang bisnis berkelanjutan yang menguntungkan petani, masyarakat, dan perusahaan itu sendiri. 

Membawa tema ambisius ini, tim GGL yang dipimpin oleh Dayu Ariasintawati yang penuh semangat, berhasil mengembangkan peluang-peluang usaha patungan yang terstruktur dengan cermat, bagi para petani lokal.  Usaha patungan ini pada hakikatnya membuka peluang bagi siapa saja yang berkomitmen dan tertarik untuk berpartisipasi dalam program pemeliharaan ternak dengan kapasitas untuk menguntungkan petani kecil dan GGL.

Dulu, Lampung Tengah pernah menjadi pusat pembibitan ternak yang besar.  Namun, daya tarik sistem produksi tradisional usaha kecil petani semakin melemah dalam beberapa dekade terakhir ini.  Banyak petani menjual ternak mereka dan beralih ke usaha lain.

Melalui CSV, GGL menunjukkan bahwa ada model-model usaha yang menguntungkan, yang memungkinkan petani untuk kembali ke produksi ternak dengan mitra yang kuat dan dapat diandalkan, yang mendukung mereka dengan memberikan bimbingan, pelatihan dan integrasi.

Model-model bisnis yang dikembangkan oleh GGL tidak lahir dalam semalam.  Mereka terus-menerus dikaji, dimodifikasi, dan disempurnakan selama beberapa tahun untuk memastikan bahwa semua model usahanya sesuai dengan kebutuhan para pemangku kepentingan.  Proses ini melibatkan pengembangan yang intensif dan berkelanjutan melalui pelatihan mendalam bagi petani mengenai berbagai subjek, mulai dari ekonomi, kesehatan dan kesejahteraan hewan, serta pengelolaan sumber daya alam.

Salah satu manfaat utama keterlibatan GGL adalah kemampuannya untuk menyediakan para petani dengan sapi bibit Australia yang kemampuannya menghasilkan daging jauh lebih besar dibandingkan dengan sapi-sapi lokal.

Seekor sapi Brahman X dari Australia dengan anaknya di Lampung Tengah.

Hasilnya sangat mengesankan.  Deretan petani baru mengantre untuk mengikuti program ini.  Di salah satu desa yang saya kunjungi, seorang petani dengan bangga memamerkan sebidang tanah yang baru ia beli dari hasil penjualan ternaknya baru-baru ini.  Ia begitu bangga hingga tidak bisa melepaskan senyum dari wajahnya.  GGL juga sudah mampu memperbesar “kawanan” peternak sapi bibit bakalan dan penggemukan tanpa harus menambah infrastruktur dan sumber daya manajemen yang intensif di perkebunan.  Semua fasilitas para petani kecil ini memenuhi persyaratan ESCAS.

Dayu (perempuan di baris paling depan) bersama kelompok petani dari Desa Karang Endah, ketika melaksanakan salah satu dari sekian banyak sesi pelatihan, bimbingan dan diskusi.

Banyaknya jumlah petani kecil di kabupaten sekitarnya mewakili beragam tingkat pendapatan, status kepemilikan lahan (termasuk beberapa yang tidak memiliki tanah), akses terhadap keuangan dan pengetahuan bisnis.  Ragam mitra yang potensial ini telah mendorong pengembangan berbagai struktur bisnis yang berbeda untuk memperhitungkan aspek-aspek ini.

Staf-staf peternakan disediakan oleh GGL untuk memantau kinerja dan memberi dukungan dalam kesehatan hewan dan obat-obatan seperti inseminasi buatan, sesuai kebutuhan.  Petani menyediakan kandang ternak, tenaga kerja, dan hijauan tambahan (rumput, jagung, limbah tanaman, dan hijauan cacah).

Salah satu kunci yang sangat penting bagi keberhasilan sistem desa ini adalah pasokan limbah nanas dan konsentrat (termasuk produk limbah lainnya, serta campuran vitamin dan mineral yang dirancang oleh spesialis GGL untuk memastikan ransum yang seimbang) yang memungkinkan petani mengurangi jumlah rumput/jagung atau hijauan cacah yang perlu dipotong sendiri setiap hari.  Dalam sistem desa tradisional, waktu yang tersedia untuk menyiapkan pakan hijauan membatasi volume yang mampu dipotong, dan oleh karena itu membatasi jumlah hewan yang mampu diberi makan. Pasokan limbah dan konsentrat dari GGL memungkinkan petani mengurangi kebutuhan pemotogan hijauan menjadi sekitar 2 kg per ekor per hari. Dampaknya nyata.  Kini petani mampu memberi makan 10 ekor sapi, sementara mereka sendiri masih dapat memotong volume hijauan yang sama seperti sebelumnya untuk memberi makan dua ekor sapi.

Petani juga mempunyai pilihan untuk menjual kembali kotoran dari ternak mereka kepada GGL.

Sejak program ini dimulai pada tahun 2014, total sekitar 5.000 ekor sapi telah didistribusikan kepada 300 petani di 8 kabupaten di Lampung Tengah.  Umumnya para petani diatur dalam koperasi dengan jumlah anggota antara 40 dan 80 petani setiap koperasi.

Sapi-sapi dara digemukkan di kandang usaha kecil petani. Beberapa petani menggunakan kandang sapi secara bersama.

Awalnya saya berasumsi bahwa keberhasilan proyek ini didorong oleh fakta bahwa GGL mampu menyediakan limbah pemrosesan  makanannya tanpa biaya, tetapi ternyata tidak demikian.  Mengoperasikan proyek-proyek secara komersial sesungguhnya yang membuat model ini sukses karena tidak ada “pemberian gratis”.  Setiap orang di dalam sistem harus memainkan peran mereka demi mencapai keberhasilan.

Di sinilah letak kekuatan visi dan dorogan dari Dayu, yang menjadi kunci keberhasilan.  Ia bersiteguh bahwa model-model ini tidak akan berhasil jika sekadar terstruktur seputar pemberian dari perusahaan.

Masing-masing pihak memikul tanggung jawab dan kedua belah pihak harus bekerja dengan baik untuk mencapai kesuksesan bersama.  Oleh karena itu, model-model proyek harus dirancang dengan sangat baik agar kedua belah pihak mampu mencapai tingkat keuntungan komersial yang nyata, sembari tetap memenuhi tujuan-tujuan produksinya.  Ini berarti, pada saat-saat awal, harus ada perubahan pada model-model usaha, di mana kedua pihak sepakat bahwa ada beberapa aspek yang tidak berjalan mulus.  Niat baik yang dihasilkan dari kaji ulang yang terus-menerus dan negosiasi ulang, membuat setiap orang benar-benar merasakan kepemilikan dan menumbuhkan keyakinan terhadap keadilan kolektif perusahaan.

Kini, para petani bergabung dalam proyek ini dengan penuh keyakinan.  Mereka tahu bahwa mereka boleh memilih model yang memungkinkan mereka berkontribusi sesuai kemampuan sumber daya pribadi mereka.  Imbalannya mungkin tidak besar, tetapi cukup untuk mendorong kebanyakan petani agar berpartisipasi dalam siklus berikutnya dan bahkan terus memperluas usaha mereka ke tingkat produksi dan keuntungan yang lebih tinggi.

Pelatihan bagi petani tentang praktik terbaik pemeliharaan sapi yang dilakukan oleh Din Satriawan dari GGL.

Salah satu hasil tidak sengaja namun sangat positif adalah perubahan sikap bank untuk memberikan dukungan dana bagi petani kecil untuk pembelian ternak.  Sampai saat proyek GGL membuktikan bahwa berbagai modelnya adalah usaha komersial yang layak, bank bahkan tidak mau mempertimbangkan untuk menggunakan sapi sebagai jaminan pinjaman dana. Kini, saat  GGL telah mengembangkan pilihan-pilihan investasi alternatifnya dengan rekam jejak pengembalian yang terbukti berhasil, bank secara aktif menawarkan pinjaman modal kepada para petani untuk pembelian ternak, dengan potensi ternak mereka digunakan sebagai jaminan pinjaman.

Sebagian besar kebijakan terkini pemerintah Indonesia untuk mendukung industri daging sapi dalam negeri belum berhasil.  Namun, kebijakan terbaru yang memberi subsidi asuransi untuk ternak hidup, memberi manfaat besar.

Untuk pertama kalinya, petani dapat mengasuransikan sapi mereka dengan biaya yang sangat murah dan bersubsidi.  Kebijakan ini secara dramatis mengurangi risiko finansial jika mereka kehilangan sapinya.  Tanpa perlindungan asuransi, kematian sapi membawa kerugian besar bagi keluarga petani.  Kebijakan tersebut juga memberi kenyamanan tambahan bagi bank, jika memberi pinjaman kepada petani dengan ternak sebagai jaminan.

Menciptakan proyek-proyek Corporate Social Responsibility yang berhasil, dimana perusahaan “memberi” kepada masyarakat, tidak semudah kedengarannya.  Proyek-proyek Creating Shared Value, di mana setiap orang mendapatkan manfaat termasuk perusahaannya sendiri, nyaris mustahil. Model GGL yang sukses dengan banyak pilihan beternak untuk membuka peluang partisipasi penuh di semua tingkatan masyarakat, sungguh merupakan keajaiban.  Dan semua ini hanya mungkin terwujud melalui semangat, kepemimpinan, intelektual dan dorongan tanpa henti dari Dayu, yang didukung penuh oleh perusahaan.

Jika sistem seperti itu dapat direplikasi beberapa ratus kali di seluruh Nusantara, maka kekurangan produksi daging sapi dalam negeri dapat segera teratasi.  Sayang sekali, hanya ada satu Dayu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share the Post:

Related Posts