Banyak pekerjaan saya di Asia dilakukan dengan para peternak kecil yang menerima sapi bibit Brahman cross impor Australia. Fokus utama saya dengan para peternak ini adalah membantu mereka memahami perbedaan khusus antara sapi bibit Australia dengan sapi lokal mereka. Sapi lokal asli mereka adalah Bos indicus tipe Nelore yang berukuran lebih kecil daripada sapi Australia tetapi luar biasa subur, dapat bunting saat sedang menyusui dan dengan kondisi skor tubuh 2 (dari 5) atau bahkan lebih rendah lagi. Kekurangannya adalah, anak sapi (pedet) dari sapi lokal ini berukuran kecil, memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah dan bobot tubuh tidak lebih dari 450 kg untuk sapi jantan dewasa. Saya meluangkan banyak waktu untuk menjelaskan mengapa sapi Brahman kita biasanya tidak dapat bunting ketika sedang menyusui pedet yang besar dan bahwa penyapihan (memisahkan anak sapi dari induknya secara permanen) sangat penting agar induk sapi dapat memulihkan kondisi tubuh hingga memadai untuk memulai lagi siklusnya. Di sinilah saya terbentur oleh tantangan paling besar. Tak seorang pun ingin agar pedet mereka disapih. Tetapi mereka selalu kecewa karena tidak bisa membuat induk sapi Australia mereka bunting selagi menyusui anaknya yang tambun. Faktanya adalah sapi-sapi kita kurang subur dibandingkan sapi asli. Namun, pedet Australia berukuran lebih besar, bertumbuh jauh lebih cepat, dan memiliki bobot akhir yang jauh lebih besar. Dalam sebuah seminar baru-baru ini di Kalimantan Timur, saya mengambil kesempatan untuk bertanya kepada sekelompok besar peternak mengapa mereka menolak menyapih pedet mereka. Sekali lagi saya jelaskan bahwa mereka dapat membiarkan pedetnya yang mengagumkan untuk terus menyusu pada induknya, atau memiliki induk yang sudah menyapih sehingga dapat cepat bunting lagi dengan gizi yang memadai. Saya juga menjelaskan betapa mahalnya biaya untuk memberi makan induk sapi yang tidak bunting, yang masih menyusui anaknya padahal penyapihan dapat mengurangi biaya pakan. Jawabannya sama. “Kami senang melihat (dan memamerkan kepada teman-teman) pedet kami yang istimewa. Kami tidak peduli terlepas dari mahalnya biaya karena lebih lama memberi makan induk sapi yang tidak bunting”. Ibarat memiliki pedet juara seantero negeri di halaman belakang rumah Anda, dan Anda diminta untuk mengurangi gizinya hanya untuk menghemat beberapa rupiah. Jangan harap!
Banyak peternak yang menolak menjual sapinya, bahkan ketika sapi mereka sudah tumbuh dewasa. Ini bukan sekadar weaner (sapi sapihan) yang bagus. Ini soal kecintaan nonkomersial terhadap sapi, terutama sapi yang hebat.
Saya bertanya kepada Pak Rida dari Kalimantan Timur, (foto di bawah ini), apakah dia berniat menjual sapi jantan mudanya (berusia 21 bulan) dan kapan ia akan menjualnya. Pak Rida menatap wajah saya, seolah saya sudah mengatakan hal yang tidak sopan atau menyinggung perasaannya. Ia dengan sopan menjelaskan bahwa menjual sapinya sama saja dengan menjual salah seorang anak kandungnya sendiri. Titik.
Berikutnya adalah foto Pak Giwo dari Lampung, Sumatera Utara. Ia bekerja sangat keras, memanjat 50 pohon kelapa dua kali sehari untuk menyadap sari bunga kelapa yang diolah menjadi gula aren. Pak Giwo meluangkan banyak waktu yang tersisa dan penghasilan yang diperoleh dengan susah payah untuk mengurusi dua ekor sapi kesayangannya (eks-Australia) dan anak-anak dari sapi itu. Ia menghabiskan waktu sebanyak mungkin dalam kesehariannya di kandang bersama sapinya, merawat mereka dan ‘menjamu’ mereka dengan pakan istimewa. Sesekali ia menjual anak-anak dari sapinya tetapi dengan kesedihan mendalam dan hanya dalam situasi yang sangat gawat. Menyapih juga sama sekali bukan pilihan baginya, sebab ia suka melihat pedet tumbuh dengan cepat, gemuk dan mengkilap. Ia tidak peduli dengan konsekuensi dari induk yang tidak bunting. Menyaksikan pedet-pedet istimewa miliknya bertumbuh pesat, sudah merupakan imbalan besar baginya.
Para peternak di Indonesia sangat bangga memamerkan ternak mereka di setiap kesempatan. Sapi-sapi di bawah ini ada di sebuah desa di Jawa Timur. Pemiliknya membawa sapi-sapi ini keluar dari kandang di belakang rumah dan ditambatkan di depan rumah selama satu atau dua jam di pagi hari sebelum sapi digiring untuk merumput di siang hari. Memajang sapi di pekarangan rumah seperti ini, ibarat tentangga Anda di Australia yang memarkir Mercedes barunya di jalan masuk untuk dipamerkan kepada orang-orang di jalanan, betapa kaya dan suksesnya sang pemilik. Dalam hal ini, harga gabungan sapi-sapi dalam foto ini jauh lebih mahal daripada harga rumah si pemilik sapi.
Selama berdiskusi dengan para petani ini, terkadang saya kurang bijak mengamati bahwa dalam hal pengembalian investasi dan kemudahan manajemen, produksi kambing akan menjadi usaha yang jauh lebih menguntungkan dibanding memelihara sapi. Di setiap kesempatan, saya mendapatkan tanggapan yang sama. Singkatnya, sapi memberikan status sosial yang paling tinggi bagi para petani dibanding produksi pertanian lainnya. Dan sejauh masih mungkin dilakukan, mereka akan mempertahankan sapinya dan menikmati status sosial yang diberikan oleh sapinya, tanpa pertimbangan keuangan sekunder.
Para produsen sapi Australia sering sekali menunjukkan gairah yang sama dalam hal kepemilikan sapi, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pendapatan. Hingga baru-baru ini, tingkat pengembalian investasi dari usaha sapi potong sangat rendah, dengan tingkat pengembalian rata-rata kurang dari 5% per tahun selama 40 tahun terakhir.
Selama masa itu, mereka bisa saja menjual aset produksi ternaknya dan meraih keuntungan dengan membeli satu blok flat di Sydney atau menginvestasikan modal dalam bentuk lainnya. Seperti halnya para peternak kecil di Indonesia, para peternak di Australia, dan saya pikir peternak mana pun di dunia, sangat menikmati mengurusi ternak dan gaya hidup yang ditawarkan oleh industri ini. Meskipun mudah dipahami, saya tetap tidak mampu menjelaskan asal-usul eratnya ikatan yang terbangun antara manusia dengan ternak. Ikatan ini sangat nyata dan berperan penting dalam proses pengambilan keputusan pemiliknya. Ikatan ini memiliki pertimbangan yang sama kuat dengan keuntungan finansial. Menukar peternakan dengan satu blok flat berkeuntungan tinggi? Mustahil.
Dan saya tidak akan ceroboh untuk mengatakan bahwa akan lebih baik secara finansial jika mereka mengalihkan investasinya ke produksi ternak kambing.
0 Responses
Reblogged this on Indonesian Livestock Industry News.